"Saya merasa, itu adalah pembodohan yang berlebihan kepada rakyat apabila hal yang gratis dijadikan janji politik oleh calon kepala daerah,"pungkas Riza seraya meneguk segelas kopi panas.
Bisanya yang berjanji begini adalah calon kepala daerah yang berasal dari incumbent. Rakyat seharusnya tersinggung dan menolak cara cara kampanye yang demikian. Cara cara kampanye yang demikian cendrung diakriminatif, artinya yang seharusnya hak rakyat malah diberikan kepada mereka yang dekat atau yang memilihnya saja, padahal semua rakyat berhak untuk mendapatkan asuransi kesehatan, apalagi bagi mereka yang miskin.
Yang benar harusnya dengan modal KTP saja sudah cukup mendapatkan layanan gratis kesehatan. Seharusnya calon kepala daerah malu menjanjikan sesuatu yang seharusnya dia penuhi karena yang dijanjikan itu itu adalah hak rakyat yang sudah seharusnya dia penuhi, bukan malah sebagai bahan kampanye, apalagi minta dipilih dengan syarat hak rakyat tersebut akan diberikan, sangat menyedihkan dan memalukan.
Ketiga janji yang masuk akal dan bisa direalisasikan. Janji politik inilah yang benar dan biasanya terukur dan tahu cara cara merealisasikannya. Misalnya perbaikan jalan, jembatan, perbaikn sekolah, dan termasuk janji janji yang merupakan kelanjutan program pemerintah pusat seperti bantuan Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan langsung tunai dan lain-lainnya.
Kita perlu lebih hati hati melihat janji janji ini agar jangan sampai mendapatkan janji yang tidak mungkin direalisasikan. Sayang masyarakat kita sering tidak peduli dengan keadaan ini, kurang jeli dan cendrung apatis.
"Tapi saya pernah juga mendapatkan janji politik tertulis tanpa realisasi setelah menjabat. Artinya yang jelas hitam putih saja masih dilanggar janjinya, apalagi yang cuman sekedar diucapkan, mungkin belum sampai ke rumahpun setelah kampanye calon kepala daerah tersebut mungkin telah lupa,"tambah Riza yang asik memainkan kata-kata.
Harapannya, hal ini akan mendorong para politisi untuk membuat janji yang realistis sesuai dengan kemampuannya untuk merealisasikan dan tidak lagi mengobral janji yang sebenarnya tidak akan mampu diwujudkan.Dengan demikian, janji kampanye akan benar-benar menjadi rujukan utama bagi rakyat dalam menentukan pilihannya dalam pilkada, dalam rangka menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Hanya dengan cara demikian, pilkada di Payakumbuh dan Limapuluh Kota tidak hanya akan menghasilkan demokrasi prosedural tetapi juga demokrasi substantif.
Dengan demikian, secara moral, janji adalah sesuatu yang seharusnya secara sungguh-sungguh dipegang untuk kemudian direalisasikan menjadi kenyataan, bukan sebaliknya hanya menjadi instrumen pencitraan diri untuk meraih simpati rakyat.
Faktanya, kewajiban moral tersebut tidak benar-benar membentuk komitmen para calon kepala daerah untuk mewujudkan janjinya. Sebab itu, perlu ada strategi guna memastikan janji tersebut ditepati.
Editor : Wanda Nurma Saputri