Lebih lanjut Dewi mengatakan, makanya kita buatkan tempat untuk proses kayu gaharu , Siapa yang punya daun, di panen daunnya kita tampung kita produksi, kita bayar sama petani. Terus siapa yang punya pohon kita suntik, kita masukkan cairan untuk ciptakan aroma wangi, selanjutnya kita tunggu proses selama lima tahun kalau pohonnya besar kulitnya kita kupas bisa kita jadikan tas atau bahan kerajinan lainya.
"Untuk batangnya yang sudah di kupas di proses suling dan setiap setahun sekali kita panen untuk bahan jadi. Hasil dari proses suling tadi ampasnya kita proses lagi kita jemur kita keringkan jadikan tepung untuk dijadikan dupa. Karena pohon gaharu tidak boleh di jual glondongan, maka kita jadikan produk, kalau dalam bentuk produk itu tidak masalah, misalnya rantingnya yang sudah ada isi kita jadikan cinderamata semacam kacamata, tasbih, gelang dan lainya. Untuk bagian pohon lainya kita suling bahan airnya kita jadikan produk penyegar wajah, sedangkan minyaknya kita jadikan parfum. Jadi tidak ada yang menjadi limbah karena semuanya kita bisa proses menjadi produk," ungkap Ibu rumah tangga yang mengawali industri gaharu rumahan di Kecamatan Kanigoro ini.
Pemilik Madam Oud Blitar, Dewi Fortuna juga menceritakan suka dukanya dalam usaha yang ditekuninya ini, yang hingga saat ini masih mengalami kesulitan dalam proses perijinannya. Saya berniat untuk memenuhi semua perijinannya akan tetapi sampai saat ini kesannya sangat ribet dan sulit proses perijinannya disini, atau gimana.
"kita ingin mengikuti aturan pemerintah, bahwa setiap usaha yang kita miliki harus mempunyai ijin. Kita berupaya mengurus semua ijin agar produk ini bisa keluar beserta ijin edarnya, dalam hal ini padahal kita sudah ikuti anjuran dari pemerintah seperti harus ada tempat di sterilkan, yang tidak ada lalu-lalang sudah kita buat. Kita di minta memenuhi SOP dalam pengerjaan baik dari seragam, penggunaan produksi semuanya sudah kita lakukan, tetapi sampai sekarang juga belum bisa kelar masalah perijinannya," keluhnya.
Dewi juga mengeluhkan, bahkan saya juga sudah mengadu tentang hal ini ke BPOM Provinsi Jatim, mereka menyarankan untuk saya berkoordinasi dengan Loka Kediri karena Blitar masuk wilayah Loka Kediri. Dari sana saya diarahkan untuk mengurus ijin ini dulu ke Dinkes Kabupaten Blitar."Namun dari pihak Dinkes mengatakan penanggung jawab produksi per produksi atau minimal D3 Farmasi, kalau 1 untuk global mungkin bisa kita siapkan sesuai kemampuan kita yaitu industri rumah tangga. Dan setahu kita penanggung jawab produksi itu untuk pabrik besar nah kalau Kita kan skala ibu rumah. Sehingga hingga sampai saat ini kami masih kesulitan ijin edarnya dan harus ke siapa lagi kami mengadu, agar niatan kami untuk membuka lapangan usaha agar bisa menjadi peluang kerja bagi masyarakat sekitar ini bisa memperoleh ijin yang valid, serta nantinya bisa membuka peluang lagi di sektor pariwisata agar kuliner dan penginapan di Blitar ini bisa bergeliat dengan kedatangan para Bayer dari luar negeri yang mencari produk-produk kami nantinya," pungkas Dewi, pengusaha industri rumah tangga yang mengaku beromset 25 juta perbulan, namun harus nombok 35 juta perbulan karena biaya produksi dan biaya lainnya dengan total 60 juta perbulan, dan untuk menutup hal tersebut harus dibantu dari gaji suami yang bekerja di luar negeri. (San)
Editor : Sri Agustini