Dikatakan Budi Syahrial, provinsi yang memiliki 26 ragam bahasa ini benar-benar unik, mereka disatukan bahasa Indonesia sedangkan bahasa daerahnya berbeda-beda antar sungai besar dengan sungai kecil. "Contohnya bahasa Dayak Kapuas dan Dayak Barito serta Dayak Banjar jauh berbeda bahkan banyak yang tidak dimengerti oleh suku dayak lainnya yang tidak sealiran sungai," terangnya.
Bayangkan kalau anda menguasai 1 bahasa Dayak Kapuas, pergi ke Dayak Barito, terpaksa belajar ulang karena beda bahasa dan langgamnya begitu juga dengan dayak Mayan, Dayak Ngajuk suku asli Palangkaraya, Dayak Bakumpai dll. Keragaman bahasa ini diupayakan dilindungi oleh Pemerintah Provinsi Kalteng, mereka membuat perda khusus tentang cagar budaya, perlindungan masyarakat adat, sastra dan bahasa Dayak," ujar Budi.
Diketahui, Kota Palangkaraya memiliki luas 2000 KM lebih dengan luasnya tanah maka kaplingan rumah warga rata-rata mencapai 1000 M2 untuk 1 rumah sehingga ada rumah memiliki kebun dan taman di depannya. Kota ini hidup dari sektor jasa, sementara provinsi Kalimantan Tengah hidup dari bouksit, emas, batubara, rotan, damar dan hasil hutan lainnya.
Uniknya bung Karno sempat meletakkan batu pertama dan dibuatkan tugu bersejarahnya di tengah Palangkaraya depan Kantor DPRD Kalteng seakan-akan memberi signal kalau ibukota akan dipindahkan maka ke Kalimantan Tengahlah tempatnya, hanya sayangnya kurang kesiapan lahan dan akhirnya direbut oleh Kalimantan Timur karena ada tanah negara 150.000 hektare di Paser Penajam yang membuat pemerintah pusat menetapkan IKN pindah kesana di Kaltim."Sejumlah perda juga kami pelajari dan kami simpan untuk dibawa ke Padang dan jika memungkinkan, bisa saja diadopsi untuk melindungi situs cagar budaya dan beberapa aturan lainnya yang mungkin berguna bagi warga Kota Padang hasil kunjungan ke Bumi Mandau ini," urai Budi. (*)
Editor : Sri Agustini